Wanda’s Story
I'm dreaming of a white Christmas,
just like the ones I used to know
Where the treetops glisten and children listen
to hear sleigh bells in the snow
Keep dreaming, batinku sinis.
Astaga, betapa mudahnya emosiku terpancing dalam beberapa hari ini! Hal-hal kecil bisa jadi begitu menyebalkan dan membuat wajahku terlipat delapan. Seperti beberapa jam lalu saat seorang pemuda tanggung tak sengaja menyenggol lenganku dengan ujung bungkusan kadonya yang super besar, saat seorang anak kecil berlarian di jalan dan nyaris menabrakku, saat seseorang—entah siapa—menginjak ujung sepatuku di dalam subway yang kunaiki, saat aku mengantri di Starbuck untuk mengahangakan diriku yang merasa tengah tinggal di Alaska, bukan New York, dan antrian yang panjang membuatku kesal, saat aku kelaparan tengah malam dan ternyata persediaan Pop Tarts di lemariku habis dan yang tersisa hanyalah sebutir Oreo di dalam toples, saat—oh lupakan saja. Banyak hal-hal remen yang dapat membuatku kesal dan menjabarkannya satu per satu hanya akan membuatku merasa buruk—misanthropy seperti Heathcliff.
Kurasa aku takkan bisa menjadi elf yang dengan setianya membantu Sinterklas menyiapkan hadiah untuk anak-anak, seperti peranku pada drama sekolah saat berumur 7 tahun. Entah sejak kapan—sebenarnya aku tahu persis sejak kapan tapi aku tidak ingin membicarakan itu sekarang—aku membuka mata di bulan Desember dan menyadari siapa diriku saat
Berarti bukannya kebetulan kalau aku mengenakan blus berwarna hijau lumut di balik mantelku. Jelas bukan warna hijau yang cocok dipadukan dengan warna merah sebagaimana dua warna yang tampaknya menjadi warna favorit di hari
Tidak, ini bukan tanggal 25. Natal masih sekitar, aku mengecek jam di ponsel, delapan jam lagi. Tapi inilah Amerika, sekarang Desember, liburan musim dingin telah dimulai dan aku hidup di dunia dimana semua orang mencintai
No offense, but I hate Christmas. Itu yang selalu kukatakan pada diriku dan satu-dua orang teman yang tahu betapa bencinya aku pada
Aku mensyukuri adanya sebuah
Aku menyukai
Entah apa yang membuatku terduduk di bangku
Roomate dan sahabatku Allison, pulang ke kampung halamannya di
Aku memperhatikan judul buku yang kupilih secara acak dari rak. Wuthering Height. Jelas ini bukan pilihan yang tepat untuk kubaca saat ini. Di tengah lautan manusia ini aku sendirian, dan di dalam kesendirianku ini aku merasa kesepian. Tapi sendiri jauh lebih baik. Karena dengan demikian takkan ada yang bisa melukaiku. Tidak lagi.
Rasanya berat untuk mengangkat pantat dan berjalan ke subway terdekat untuk kembali ke apartemenku. Mager—males gerak—meski cuaca ini membuatku memeluk diriku sendiri dan mencari sedikit kehangatan.
Tepat di sisi lain ujung bangku taman yang kududuki sendirian, seorang pemuda duduk dengan secangkir kopi dan ponsel di tangannya. Ia membeli kopi itu dari kedai yang sama dengannya sehingga tak heran jika coffee cup kami memiliki gambar yang sama. Kuperhatikan dia dengan mata yang melirik ke arahnya dan wajah yang menghadap ke buku.
Umurnya sekitar 23-24 tahun. Atau justru lebih muda? Atau lebih tua? Aku tidak yakin karena menebak usia bule bukanlah keahlianku. Anak remaja bisa tampak begitu dewasa tapi orang-orang dewasa justru kelihatan lebih muda daripada yang sebenarnya. Yang jelas orang ini kelihatan santai. Ia mengenakan long-sleeved shirt warna abu-abu di balik trench coat cokelat tua yang terlihat hangat. Ia memakai jeans biru indigo seperti punya Sam dan sepatu besar berwarna cokelat. Entah benar atau tidak tapi aku selalu menilai seseorang dari sepatu yang dipakainya dan kutebak orang ini adalah tipe cowok yang simpel dan tidak banyak
Astaga, sebegitu kurang kerjaankah aku sampai-sampai aku meneliti orang asing yang kutemui?
Tampaknya orang itu menunggu seseorang. Mana ada orang yang menyepi seorang diri di malam
Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki siapapun untuk dicintai? Seperti aku, misalnya.
Aku menyesap kopiku yang tidak terlalu membakar lidah dan merasa lebih hangat saat cairan itu turun ke perut. Rasa lapar sedikit menggelitik padahal aku baru menghabiskan sebungkus tortilla and cheese sebelum berangkat tadi. Udara dingin memang musuh untuk timbangan badanku.
Jadi kuputuskan untuk membuka halaman pertama Wuthering Height dan membaca. Atau haruskah aku pergi membeli majalah? Tidak, tidak. Entah dimana kios majalah terdekat dan aku tidak mau tempat duduk ini diambil orang. Aku suka berada disini meski dingin dan memandangi air mancur
Aku diam memandangi halaman pertaman pertama buku itu dan tidak memahami jejeran tulisan yang ada di hadapanku. Buku ini kuambil dari rak buku Allison… dan aku tidak mengerti mengapa ia membeli buku berbahasa Rusia. Allison tidak bisa berbicara Rusia. Aku mengerutkan kening. Mendadak aku kangen temanku satu itu jadi kuputuskan untuk menganggunya barang empat-lima menit di hari
“Bahasa apa?” tanya Allison dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya.
“Rusia,” jawabku. “Kau tidak pernah membeli Wuthering Height bahasa Rusia? Lantas buku milik siapa ini?”
“Kau yakin itu milikku? Untuk apa aku susah payah membeli Wuthering Height bahasa Rusia? Kau pikir aku komunis, Wanda?”
Benar juga. Pembicaraan kami pun selesai dalam
“Bukannya aku bermaksud menguping obrolanmu di telepon,” kata seseorang. Aku menoleh dan melihat cowok yang tadi kuperhatikan berbicara denganku. “Tapi suaramu cukup keras sehingga aku bisa mendengarmu dengan jelas.” Aku diam dan menunggunya apa maunya. “Bukumu terbalik.”
Perlu beberapa detik untuk mencerna perkataan orang ini. Pelan-pelan aku memutar tanganku untuk melihat cover buku. Dan ternyata dia benar. Wuthering Height terbaca menjadi 1y8!cH 8u!jcy1nM. Bukan bahasa Rusia, hanya buku yang terbalik.
Ini bukan kejadian memalukan pertama yang terjadi di dalam hidupku. Tapi.astaga, ini benar-benar memalukan.
“Well… That’s explaining everything.” Hanya itu yang dapat kukatakan.
Cowok itu terkekeh melihatku. Ia menyesap minumannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Harus kuakui ia memiliki senyum yang indah dengan deretan gigi yang rapi itu. “Kurasa temanmu akan ngakak mendengar ceritamu.”
“Allison akan menjadikanku bahan bulan-bulanan,” aku mengangguk. “Tadi itu.. konyol sekali. Aku tidak tahu kenapa aku bisa bertindak setolol itu.”
Kami diam sejenak dan menikmati suasana disana. Pasangan-pasangan yang jalan-jalan sebelum makan malam atau pesta
“Pacarmu belum datang?” tanya cowok itu padaku. Ia tampaknya perlu orang asing untuk mengobrol. Berhubung aku tidak ada kerjaan kupikir tidak ada salahnya meladeninya. Toh akan sangat menyenangkan jika aku punya teman berbicara di hari paling sepi sedunia ini, meski di hari-hari biasa mungkin aku bakal langsung kabur dan meninggalkannya.
Aku menggeleng. “Sebenarnya aku tidak menunggu siapa-siapa.”
“Bagaimana bisa kau duduk di Central Park seorang diri di malam
“Tentu saja bisa. Kau menunggu pacarmu disini?”
“Tidak. Aku hanya sendirian disini.”
Aku memutar mata. “’Bagaimana bisa kau duduk di Central Park seorang diri di malam
Ia tertawa. “’Tentu saja bisa’.”
“Tentu saja,” balasku. “Serius. Kau benar-benar sendirian disini? Tidak ada acara pesta
“Tidak ada.
“Sedikit. Kau pasti hanya seorang diri di
“Tidak juga. Aku tidak yakin dimana mereka berada, sebenarnya,” jawabnya. Ia mengubah posisi duduknya sehingga terlihat tidak defensif dan mengulurkan tangannya padaku. “Aku Matthew. Matthew Bronson.”
“Wanda,” aku menjabat tangannya yang besar. “Aku tidak punya nama keluarga.”
Air mukanya tampak bersimpati. “Maaf.”
“Tidak, bukan begitu,” aku cepat-cepat menambahkan. “Di Indonesia tidak semua anak perlu memiliki nama belakang.”
“Oh.”
Aku menutup buku dan meletakkannya di pangkuanku tanpa minat membacanya. Sepertinya mengobrol dengan orang asing lebih menyenangkan. Jauh lebih baik ketimbang diam dan membaca seorang diri. “Kenapa kau sendirian di malam
“Alasanku sama sepertimu.”
“Seolah kau tahu alasanku. Setiap orang berbeda, tidak sama. Dan aku percaya alasan dari suatu keadaan maupun tindakan pasti berbeda, tidak pedlui seberapa banyak kesamaan yang ada,” kataku.
Satu keluarga kecil—ayah, ibu dan dua anak kecil yang melompat-lompat sambil memegang tangan orang tuanya—berjalan melewati kami dengan keceriaan dan kehangatan yang membuatku mengenang masa lalu. Iri, mungkin. Tapi adakah gunanya iri hati saat kau tahu kau takkan bisa mendapatkan apa yang ingin kau peroleh, tak peduli seberapa keras kau berusaha atau seberapa banyak kau berdoa? Some things just can’t change.
“Teman-temanku punya rencana sendiri untuk melewatkan malam Natalnya. Aku tidak ingin berkumpul dengan keluargaku, jadi disinilah aku. Dengan bodohnya memutuskan untuk berkelana sendirian dan menghibur diriku sendiri,” Matthew mengangkat bahu dan memasukan kedua tangannya ke dalam coat-nya. “Bagaimana denganmu?
“Aku hanya sendirian di
Matthew mengangguk, “Alasan kita tidak berbeda.”
“Tapi juga tidak sama,” aku mengingatkan.
“Terserah.”
Kami sama-sama mengambil minuman dan meneguknya bersamaan. “Kau kuliah?”
“Art Institute. Kau?”
“
“Calon sutradara,” jawabku. No hard feelings, tapi aku ogah melewatkan hidupku dengan menjadi pedoman orang-orang tentang baju apa yang harus mereka pakai musim ini dan bla bla bla. “Kau cowok atlet? Kupikir Ivy League itu keren.”
“Fakultas hukum,” jawabnya kalem. “Bukan pilihanku. Kupkir masih ada banyak hal yang bisa dilakukan di luar
“Kedengarannya kau membencinya.”
Ia memainkan jarinya sebelum menjawab pertanyaanku. “Bukan berarti pekerjaan itu jelek. Itu bidang yang lumayan menarik kok. Hanya saja bukan itu yang ingin kulakukan di dalam hidupku. Itu saja.”
Rasanya baru saja aku mendengar nada kesedihan di dalam suara orang asing ini? Sesuatu menggerakanku untuk bertanya. “Apa cita-citamu?” Bukan pertanyaan yang sopan untuk ditujuakn kepada orang yang baru kau kenal sepuluh menit lalu. Tapi toh ini
“Kau yakin mau mendengarnya?” Matthew tertawa, entah menertawakan pertanyaanku atau dirinya sendiri. “Lucu. Tak ada yang pernah menanyakan hal itu padaku.”
“Berlebihan,” aku memutar mata. “Bagaimana mungkin tidak ada yang pernah menanyakan itu padamu?”
Matthew menunduk dan bertumpu dengan kedua kakinya. Kuperhatikan ia memiliki badan yang tinggi meski tidak atletis. Dan ya, dia memiliki mata kelabu yang indah dan rambut brunette yang kelihatannya lembut.
“Mungkin karena masa depanku telah ditentukan sejak aku lahir. Jauh sebelum aku tahu apa yang ingin kulakukan dengan hidupku, ayahku tampaknya sudah membuat rencana tentang apa saja yang harus aku lakukan. Untuk menjadi seperti dirinya.”
“Ayahmu seorang pengacara?”
“Anggota dewan kongres. Turun temurun sejak kakek buyutku. Nasibku “Jadi,” ia menoleh padaku untuk mengatakan ini, “Bersyukurlah kau. Menjadi seniman adalah suatu kemewahan bagi beberapa orang—bagiku, terutama. Aku selalu ingin menjadi koki, sebenarnya.”
Ah, rasanya aku mulai mengerti diri orang ini. Anak kaya yang
“Tapi lupakan saja. Tak ada gunanya juga membicarakan sesuatu yang tak mungkin terjadi,
“Aku tidak ingin berada di rumah. Itu saja. Tak ada kepentingan yang harus kulakukan disana saat ini… dan aku juga tidak terlalu suka dengan suasananya. Jadi kupikir lebih baik sendirian dan kesepian daripada pulang dan merasa janggal berada disana,” akuku. “Ibuku meninggal empat tahun yang lalu dan sejak itu rumah menjadi tempat yang asing bagiku. Aku tidak terlalu akrab dengan ayahku sementara kakak laki-lakiku bisa jadi sangat menyebalkan, jadi,” Aku mengangkat kedua bahu, “Disinilah aku. Di tempatku yang nyaman. Kurasa.”
Aku mengangkat minumanku. Ringan, isinya hanya tinggal setengah.
No comments:
Post a Comment