Pages

Daisypath Anniversary tickers
Daisypath Graduation tickers

10 May 2011

Till They Take My Heart Away

Dear, Red.

Things get harder. Yes, I know. It's hard for you in there, it's hard for me in here. It's 11 PM and I we was on the phone. I can hear your sigh, things you never show to anyone but me. Could I lose my mind already cause in the middle of trouble like this, I still can see a light? Facts that you trust me, that I'm the one who listen all of your complain makes me feel warm. Even in the middle of hell I'm living on, it feels good to have someone special to miss, to love, to fighting for and cherish.

You're tired. Yes, dear, I know. But remember one thing, every hard work you did today is what you'll enjoyed later. Just wanna make sure that you know I'm here if you need me. Always. And I'm not kind of person who'll take only good things about you. I said I take every good and bad on you, and it's not because I can. It's because I want to. It's because somehow, I wanna accompany you to fight the world for lifetime. That's simple.

I'm here. And no, I won't let you down. I won't leave you cause it's the last thing I could do in this lifetime. I promise I'll be your strength, even when I'm not able to stand in my own trouble, I'll stand by you.

Anyway, here's a song for you. Suddenly I think of you whenever I heard this. It's MYMP's.

I look into your eyes, so far away
There's trouble in your mind
You're losing faith
Hey now, let me hold you
It'll be okay!
Coz I will love you
Till they take my heart away.

Remember when you called
And said goodbye
We thought we'd lost it all
And so did I
Even if I lost you
I would feel the same
Coz I will love you
Till they take my heart away.

Believe in me
I'm here to stay
I will love you
Till they take my heart away.

Now we're stronger than before
We've made it through
I never felt more sure
Because of you
Hey now! are you listening?
Do you hear me say
"I will love you
Till they take my heart away"

Yes I will love you till they take my heart away (and 'they' refers to.... you know. 'They'.)

Christmas for Two (part 1)

Wanda’s Story

I'm dreaming of a white Christmas,
just like the ones I used to know
Where the treetops glisten and children listen
to hear sleigh bells in the snow


Keep dreaming, batinku sinis.

Astaga, betapa mudahnya emosiku terpancing dalam beberapa hari ini! Hal-hal kecil bisa jadi begitu menyebalkan dan membuat wajahku terlipat delapan. Seperti beberapa jam lalu saat seorang pemuda tanggung tak sengaja menyenggol lenganku dengan ujung bungkusan kadonya yang super besar, saat seorang anak kecil berlarian di jalan dan nyaris menabrakku, saat seseorang—entah siapa—menginjak ujung sepatuku di dalam subway yang kunaiki, saat aku mengantri di Starbuck untuk mengahangakan diriku yang merasa tengah tinggal di Alaska, bukan New York, dan antrian yang panjang membuatku kesal, saat aku kelaparan tengah malam dan ternyata persediaan Pop Tarts di lemariku habis dan yang tersisa hanyalah sebutir Oreo di dalam toples, saat—oh lupakan saja. Banyak hal-hal remen yang dapat membuatku kesal dan menjabarkannya satu per satu hanya akan membuatku merasa buruk—misanthropy seperti Heathcliff.

Kurasa aku takkan bisa menjadi elf yang dengan setianya membantu Sinterklas menyiapkan hadiah untuk anak-anak, seperti peranku pada drama sekolah saat berumur 7 tahun. Entah sejak kapan—sebenarnya aku tahu persis sejak kapan tapi aku tidak ingin membicarakan itu sekarang—aku membuka mata di bulan Desember dan menyadari siapa diriku saat Natal tiba. Monster Grinch—karakter fiksional dari buku “How the Grinch Stole Christmas” karangan Dr. Seusss.

Berarti bukannya kebetulan kalau aku mengenakan blus berwarna hijau lumut di balik mantelku. Jelas bukan warna hijau yang cocok dipadukan dengan warna merah sebagaimana dua warna yang tampaknya menjadi warna favorit di hari Natal seperti ini.

Tidak, ini bukan tanggal 25. Natal masih sekitar, aku mengecek jam di ponsel, delapan jam lagi. Tapi inilah Amerika, sekarang Desember, liburan musim dingin telah dimulai dan aku hidup di dunia dimana semua orang mencintai Natal. Mereka semua berkata tentang bagaimana mereka tidak sabar untuk melewatkan Natal bersama keluarga dan respon draiku adalah sebuah tatapan sinis. Ini gila. Tidak bisakah mereka lihat bahwa Natal seolah-olah telah berlangsung sejak abad lalu karena berbagai dekorasi yang ada di setiap jalanan di kota itu mulai dipasang sejak bulan November? Rasanya Natal bukanlah sebuah hari, melainkan bulan. Kurasa ada baiknya jika kalender mengganti Christmas Day menjadi Christmas Months dan tulisan tanggal 1 November sampai 30 Desember diganti menjadi warna merah.

No offense, but I hate Christmas. Itu yang selalu kukatakan pada diriku dan satu-dua orang teman yang tahu betapa bencinya aku pada Natal. Bukan berarti aku rasis. Justru aku Kristiani dan sejujur-jujurnya, tulus dari lubuk hatiku yang terdalam, aku menghargai arti Natal yang sesungguhnya. Yaitu untuk menyambut kelahiran bayi Yesus yang nantinya akan memperkenalkan manusia pada kasih dan mengajarkan kami untuk tidak membenci musuh melainkan memaafkan dan mendoakannya. Yesus yang akan berkorban di kayu salib dan wafat demi menebus dosa-dosa manusia. Dan esensi Natal yang sesungguhnya, menurutku, adalah kelahiran Mesias, titik awal datangnya perdamaian, cinta dan keselamatan bagi seluruh umat manusia. Itulah cinta dan damai—love and peace—bukannya dengan menjalankan hidup ala hippie dengan logo “make love not war” dan menghisap ganja.

Aku mensyukuri adanya sebuah Natal, menghormatinya dan merasa sangat perlu berterima kasih pada Tuhan karena telah diberikan Natal. Dan sebenarnya aku suka kok Natal. Aku suka diskon-diskon sehingga aku bisa berbelanja lebih banyak dari biasanya tanpa merasa begitu bersalah. Aku selalu tersenyum dengan promo yang ada di supermarket atau restoran favoritku dan suka sekali mendapatkan kue-kue gratis. Mungkin akan sangat menyenangkan jika ada promo gratis sepatu jika kau membeli sebuah tas atau kebalikannya, tapi tidak apa-apa, aku tetap menyukai Natal. Aku suka kelap-kelip lampu pohon Natal raksasa di Rockfeller Center, tapi kecantikan itu tidak bertahan lama karena melihatnya dapat mengingatkanku pada alasan-alasan mengapa aku membenci Natal.

Aku menyukai Natal dalam sudut pandang tertentu namun membencinya dengan sudut pandangku yang lain.

Entah apa yang membuatku terduduk di bangku Central Park seorang diri dengan secangkir kopi panas dan buku di tangan, bukannya bermalas-malasan di apartemenku sambil ngemil dan nonton How I Met Your Mother dari season pertama. Mungkinkah aku bosan karena hanya itulah kegiatanku selama dua minggu terakhir? Lantas mengapa aku malah memutuskan untuk keluar dari malam Natal dimana semua orang menghabiskan waktunya bersama teman dan keluarga, bukannya justru jalan-jalan seorang diri ke pusat kota?

Roomate dan sahabatku Allison, pulang ke kampung halamannya di Pennsylvania dan baru akan kembali seminggu setelah Tahun Baru. Tetanggaku Sam berasal dari Australia tapi ia melewatkan Natal tahun ini bersama paman dan bibinya di Alaska—di saat semua orang mencari kehangatan ia malah menghabiskan musim dinginnya di tempat paling hangat di Amerika. Teman-temanku yang tidak pulang kampung menghabiskan Natal bersama pacar atau keluarga si pacar dan meninggalkan aku—yang kenyataannya adalah single—sendirian di kota sebesar ini. Single adalah pilihan sementara jomblo adalah keadaan, begitu aku selalu membela diri jika Allison mulai meledekku.

Aku memperhatikan judul buku yang kupilih secara acak dari rak. Wuthering Height. Jelas ini bukan pilihan yang tepat untuk kubaca saat ini. Di tengah lautan manusia ini aku sendirian, dan di dalam kesendirianku ini aku merasa kesepian. Tapi sendiri jauh lebih baik. Karena dengan demikian takkan ada yang bisa melukaiku. Tidak lagi.

Rasanya berat untuk mengangkat pantat dan berjalan ke subway terdekat untuk kembali ke apartemenku. Mager—males gerak—meski cuaca ini membuatku memeluk diriku sendiri dan mencari sedikit kehangatan.

Tepat di sisi lain ujung bangku taman yang kududuki sendirian, seorang pemuda duduk dengan secangkir kopi dan ponsel di tangannya. Ia membeli kopi itu dari kedai yang sama dengannya sehingga tak heran jika coffee cup kami memiliki gambar yang sama. Kuperhatikan dia dengan mata yang melirik ke arahnya dan wajah yang menghadap ke buku.

Umurnya sekitar 23-24 tahun. Atau justru lebih muda? Atau lebih tua? Aku tidak yakin karena menebak usia bule bukanlah keahlianku. Anak remaja bisa tampak begitu dewasa tapi orang-orang dewasa justru kelihatan lebih muda daripada yang sebenarnya. Yang jelas orang ini kelihatan santai. Ia mengenakan long-sleeved shirt warna abu-abu di balik trench coat cokelat tua yang terlihat hangat. Ia memakai jeans biru indigo seperti punya Sam dan sepatu besar berwarna cokelat. Entah benar atau tidak tapi aku selalu menilai seseorang dari sepatu yang dipakainya dan kutebak orang ini adalah tipe cowok yang simpel dan tidak banyak gaya.

Astaga, sebegitu kurang kerjaankah aku sampai-sampai aku meneliti orang asing yang kutemui? Ada apa denganku?

Tampaknya orang itu menunggu seseorang. Mana ada orang yang menyepi seorang diri di malam Natal seperti ini selain aku? Dan kalau pun ada itu tidak membuatku merasa lebih baik karena aku tidak mengenal mereka dan orang-orang yang kutemui di jalan tampaknya baik-baik saja. Wajah mereka terlihat gembira di mataku, dan di bayanganku mereka tidak sabar untuk menyambut malam ini bersama orang-orang yang mereka cintai.

Bagaimana dengan orang yang tidak memiliki siapapun untuk dicintai? Seperti aku, misalnya.

Aku menyesap kopiku yang tidak terlalu membakar lidah dan merasa lebih hangat saat cairan itu turun ke perut. Rasa lapar sedikit menggelitik padahal aku baru menghabiskan sebungkus tortilla and cheese sebelum berangkat tadi. Udara dingin memang musuh untuk timbangan badanku.

Jadi kuputuskan untuk membuka halaman pertama Wuthering Height dan membaca. Atau haruskah aku pergi membeli majalah? Tidak, tidak. Entah dimana kios majalah terdekat dan aku tidak mau tempat duduk ini diambil orang. Aku suka berada disini meski dingin dan memandangi air mancur Bethesda yang berusia ratusan tahun. Mungkin membaca sambil mendengarkan lagu adalah ide yang bagus, tapi aku ingin menyimpan rencana itu untuk beberapa menit ke depan kalau aku benar-benar sudah mati kebosanan.

Aku diam memandangi halaman pertaman pertama buku itu dan tidak memahami jejeran tulisan yang ada di hadapanku. Buku ini kuambil dari rak buku Allison… dan aku tidak mengerti mengapa ia membeli buku berbahasa Rusia. Allison tidak bisa berbicara Rusia. Aku mengerutkan kening. Mendadak aku kangen temanku satu itu jadi kuputuskan untuk menganggunya barang empat-lima menit di hari Natal.

“Bahasa apa?” tanya Allison dengan nada satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya.

“Rusia,” jawabku. “Kau tidak pernah membeli Wuthering Height bahasa Rusia? Lantas buku milik siapa ini?”

“Kau yakin itu milikku? Untuk apa aku susah payah membeli Wuthering Height bahasa Rusia? Kau pikir aku komunis, Wanda?”

Benar juga. Pembicaraan kami pun selesai dalam lima belas menit. Allison menceritakan tentang anjing peliharaannya yang beranak, tentang kedatangan kakak perempuannya dengan membawa pacar Brazil yang seksi dan memutuskan bahwa besok mereka harus chatting karena ia tidak sabar menceritakan detail tentang kejadian lucu yang dialaminya. Lantas aku menutup telepon dan kembali diam, memandangi air mancur selama beberapa menit dengan otak kosaong.

“Bukannya aku bermaksud menguping obrolanmu di telepon,” kata seseorang. Aku menoleh dan melihat cowok yang tadi kuperhatikan berbicara denganku. “Tapi suaramu cukup keras sehingga aku bisa mendengarmu dengan jelas.” Aku diam dan menunggunya apa maunya. “Bukumu terbalik.”

Perlu beberapa detik untuk mencerna perkataan orang ini. Pelan-pelan aku memutar tanganku untuk melihat cover buku. Dan ternyata dia benar. Wuthering Height terbaca menjadi 1y8!cH 8u!jcy1nM. Bukan bahasa Rusia, hanya buku yang terbalik.

Ini bukan kejadian memalukan pertama yang terjadi di dalam hidupku. Tapi.astaga, ini benar-benar memalukan.

Well… That’s explaining everything.” Hanya itu yang dapat kukatakan.

Cowok itu terkekeh melihatku. Ia menyesap minumannya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Harus kuakui ia memiliki senyum yang indah dengan deretan gigi yang rapi itu. “Kurasa temanmu akan ngakak mendengar ceritamu.”

“Allison akan menjadikanku bahan bulan-bulanan,” aku mengangguk. “Tadi itu.. konyol sekali. Aku tidak tahu kenapa aku bisa bertindak setolol itu.”

Kami diam sejenak dan menikmati suasana disana. Pasangan-pasangan yang jalan-jalan sebelum makan malam atau pesta Natal mereka, anak-anak yang mengoceh tentang hadiah yang mereka inginkan untuk Natal.

“Pacarmu belum datang?” tanya cowok itu padaku. Ia tampaknya perlu orang asing untuk mengobrol. Berhubung aku tidak ada kerjaan kupikir tidak ada salahnya meladeninya. Toh akan sangat menyenangkan jika aku punya teman berbicara di hari paling sepi sedunia ini, meski di hari-hari biasa mungkin aku bakal langsung kabur dan meninggalkannya.

Aku menggeleng. “Sebenarnya aku tidak menunggu siapa-siapa.”

“Bagaimana bisa kau duduk di Central Park seorang diri di malam Natal seperti ini?”

“Tentu saja bisa. Kau menunggu pacarmu disini?”

“Tidak. Aku hanya sendirian disini.”

Aku memutar mata. “’Bagaimana bisa kau duduk di Central Park seorang diri di malam Natal seperti ini?’”

Ia tertawa. “’Tentu saja bisa’.”

“Tentu saja,” balasku. “Serius. Kau benar-benar sendirian disini? Tidak ada acara pesta Natal, makan malam bersama atau sejenisnya?”

“Tidak ada. Ada yang aneh?”

“Sedikit. Kau pasti hanya seorang diri di kota ini.”

“Tidak juga. Aku tidak yakin dimana mereka berada, sebenarnya,” jawabnya. Ia mengubah posisi duduknya sehingga terlihat tidak defensif dan mengulurkan tangannya padaku. “Aku Matthew. Matthew Bronson.”

“Wanda,” aku menjabat tangannya yang besar. “Aku tidak punya nama keluarga.”

Air mukanya tampak bersimpati. “Maaf.”

“Tidak, bukan begitu,” aku cepat-cepat menambahkan. “Di Indonesia tidak semua anak perlu memiliki nama belakang.”

“Oh.”

Aku menutup buku dan meletakkannya di pangkuanku tanpa minat membacanya. Sepertinya mengobrol dengan orang asing lebih menyenangkan. Jauh lebih baik ketimbang diam dan membaca seorang diri. “Kenapa kau sendirian di malam Natal seperti ini?”

“Alasanku sama sepertimu.”

“Seolah kau tahu alasanku. Setiap orang berbeda, tidak sama. Dan aku percaya alasan dari suatu keadaan maupun tindakan pasti berbeda, tidak pedlui seberapa banyak kesamaan yang ada,” kataku.

Satu keluarga kecil—ayah, ibu dan dua anak kecil yang melompat-lompat sambil memegang tangan orang tuanya—berjalan melewati kami dengan keceriaan dan kehangatan yang membuatku mengenang masa lalu. Iri, mungkin. Tapi adakah gunanya iri hati saat kau tahu kau takkan bisa mendapatkan apa yang ingin kau peroleh, tak peduli seberapa keras kau berusaha atau seberapa banyak kau berdoa? Some things just can’t change.

“Teman-temanku punya rencana sendiri untuk melewatkan malam Natalnya. Aku tidak ingin berkumpul dengan keluargaku, jadi disinilah aku. Dengan bodohnya memutuskan untuk berkelana sendirian dan menghibur diriku sendiri,” Matthew mengangkat bahu dan memasukan kedua tangannya ke dalam coat-nya. “Bagaimana denganmu?

“Aku hanya sendirian di kota dan benua ini, menolak untuk pulang ke rumahku yang hangat karena lebih memilih untuk menghabiskan uangku untuk berbelanja ketimbang tiket pesawat dan karena aku tidak ingin berada disana setidaknya untuk tiga tahun ke depan,” jawabku panjang lebar.

Matthew mengangguk, “Alasan kita tidak berbeda.”

“Tapi juga tidak sama,” aku mengingatkan.

“Terserah.”

Kami sama-sama mengambil minuman dan meneguknya bersamaan. “Kau kuliah?”

“Art Institute. Kau?”

Colombia. Kau cewek fashion?”

“Calon sutradara,” jawabku. No hard feelings, tapi aku ogah melewatkan hidupku dengan menjadi pedoman orang-orang tentang baju apa yang harus mereka pakai musim ini dan bla bla bla. “Kau cowok atlet? Kupikir Ivy League itu keren.”

“Fakultas hukum,” jawabnya kalem. “Bukan pilihanku. Kupkir masih ada banyak hal yang bisa dilakukan di luar sana ketimbang memakai jas dan mengoceh omong kosong di depan hakim.”

“Kedengarannya kau membencinya.”

Ia memainkan jarinya sebelum menjawab pertanyaanku. “Bukan berarti pekerjaan itu jelek. Itu bidang yang lumayan menarik kok. Hanya saja bukan itu yang ingin kulakukan di dalam hidupku. Itu saja.”

Rasanya baru saja aku mendengar nada kesedihan di dalam suara orang asing ini? Sesuatu menggerakanku untuk bertanya. “Apa cita-citamu?” Bukan pertanyaan yang sopan untuk ditujuakn kepada orang yang baru kau kenal sepuluh menit lalu. Tapi toh ini New York dan kami hanyalah dua orang asing yang kebetulan bertemu, kesepian, dan tanpa tujuan. Jadi kupikir apa salahnya?

“Kau yakin mau mendengarnya?” Matthew tertawa, entah menertawakan pertanyaanku atau dirinya sendiri. “Lucu. Tak ada yang pernah menanyakan hal itu padaku.”

“Berlebihan,” aku memutar mata. “Bagaimana mungkin tidak ada yang pernah menanyakan itu padamu?”

Matthew menunduk dan bertumpu dengan kedua kakinya. Kuperhatikan ia memiliki badan yang tinggi meski tidak atletis. Dan ya, dia memiliki mata kelabu yang indah dan rambut brunette yang kelihatannya lembut.

“Mungkin karena masa depanku telah ditentukan sejak aku lahir. Jauh sebelum aku tahu apa yang ingin kulakukan dengan hidupku, ayahku tampaknya sudah membuat rencana tentang apa saja yang harus aku lakukan. Untuk menjadi seperti dirinya.”

“Ayahmu seorang pengacara?”

“Anggota dewan kongres. Turun temurun sejak kakek buyutku. Nasibku “Jadi,” ia menoleh padaku untuk mengatakan ini, “Bersyukurlah kau. Menjadi seniman adalah suatu kemewahan bagi beberapa orang—bagiku, terutama. Aku selalu ingin menjadi koki, sebenarnya.”

Ah, rasanya aku mulai mengerti diri orang ini. Anak kaya yang malang, menjalani hidupnya karena tekanan keluarga yang telah memiliki nama baik dan reputasi baik di masyarakat.

“Tapi lupakan saja. Tak ada gunanya juga membicarakan sesuatu yang tak mungkin terjadi, kan?” Aku tidak setuju dengan pendapat dan cara pikirnya itu, dan aku ingin menyanggahnya tapi Matthew membuka mulutnya dan menanyakan kisahku, jadi aku ingin menjawabnya untuk mengurangi rasa kesepianku yang absurd ini.

“Aku tidak ingin berada di rumah. Itu saja. Tak ada kepentingan yang harus kulakukan disana saat ini… dan aku juga tidak terlalu suka dengan suasananya. Jadi kupikir lebih baik sendirian dan kesepian daripada pulang dan merasa janggal berada disana,” akuku. “Ibuku meninggal empat tahun yang lalu dan sejak itu rumah menjadi tempat yang asing bagiku. Aku tidak terlalu akrab dengan ayahku sementara kakak laki-lakiku bisa jadi sangat menyebalkan, jadi,” Aku mengangkat kedua bahu, “Disinilah aku. Di tempatku yang nyaman. Kurasa.”

Aku mengangkat minumanku. Ringan, isinya hanya tinggal setengah.

Novelette

So I think I'm gonna follow Mrindita's idea to put our works on blog. My works written in Indonesian so... yes, I'm not going to translate it cause somehow it'll be weird. I'm Indonesian, so I wrote my thoughts and tales in Indonesian.